Pada suatu senja yang muram aku mencoba belajar untuk mengerti, tentang diri
yang beberapa hari terakhir dikunjungi oleh hati yang sedikit membenci.
Telah kuberitakan sebuah kabar dari rasa kecewaku, juga kepada mereka
yang maklum akan hal itu.
Aku, seorang yang berjuang bersama tulisan dan pengalaman-pengalaman,
tapi melawan pun aku tak mampu. Tentu aku tak ingin disamaratakan dengan
kaum wanita. Mereka sudah diakui lewat emansipasi, setelah R.A. Kartini
juga menggunakan tulisan sebagai alat memperjuangkan hak-haknya. Lain
pula aku; aku, seorang lelaki, dengan berbagai macam gengsi dan tak ada
hak apa-apa untuk menuntut kebenaran. Aku hanya punya kewajiban menerima
segala kenyataan, walau kenyataan yang pahit sekalipun. Dan kebenaran,
yang ramai orang-orang perbincangkan, adalah semacam benang kusut yang
dirajut sendiri oleh penjahitnya.
Nah, membahas soal penjahit, aku juga memiliki cerita mengenai hal
tersebut. Kurang lebih dari dua bulan yang lalu ada kejadian yang
membuat aku bertanya-tanya: Kok bisa? Kok orang semulia itu bisa
didatangi ketua rukun tetangga setempat?
Begini ceritanya:
Sekitar pukul delapan malam aku kembali lagi ke rumah dan tak jadi
bertemu dengan sahabatku sedari masa kanak-kanak. Ia sedang tidak ada di
rumahnya, maka itu aku pulang ke rumah tanpa timbul prasangka buruk
tentang seorang sahabat.
Saat ingin tiba di rumah, aku berpapasan dengan Pak RT juga satu orang
yang aku ketahui: dia adalah mantan bendahara RT. Mereka berdua baru
saja keluar dari rumah tetangga di sebelah kanan rumahku. Seperti habis
menghadiri rapat bersama Pak Lurah, muka mereka tampak sesak oleh
pikiran masing-masing, lantas aku pun juga tak jadi memberikan sapaan.
Setidak-tidaknya aku tersenyum kepada Pak RT, tentu sebagai warga bukan
sebagai budak negara. Ya, sebagaimana warga negara yang baik, yang tahu
terimakasih kepada pemimpinnya. Pemimpin, ya, bukan badut sirkus!
Rupa-rupanya ibu telah menunggu aku di ambang pintu. Aku digiringnya
masuk ke dalam rumah dan mengambil tempat duduk sendiri, sementara ibu
duduk di bangku panjang tempat biasa kami sekeluarga menyambut para
tamu. Ibu langsung memulai percakapan tentang kejadian yang baru saja
dialami oleh konfeksi tas di sebelah rumah. Pak RT bersama seorang yang
rambutnya telah putih itu memberikan teguran terhadap pemilik konfeksi.
Aku tetap mendengarkan pendapat-pendapat ibuku dengan cermat. Informasi
bukan didapatkannya dari mencuri dengar, melainkan dari para pekerja
konfeksi itu sendiri; saat mereka jajan di warung sembako kecil-kecilan
milik keluargaku.
“Kata Pak S yang tinggal di depan konfeksi, keluarga mereka terganggu
oleh bau lem yang menyengat. Tapi ibu heran, soalnya Pak RT menegur
tetangga sebelah karena masalah suara—yang menurut ibu sih, ndak terlalu
berisik. Kan kita juga nyaman-nyaman saja, toh? Malahan menurut ibu,
justru pemilik rumah yang terganggu itu lebih mengganggu karena mereka
main kartu gaple hingga larut malam.” ucap ibu.
“Pemilik konfeksi di sebelah bukan cuma menolong para tetangga yang
berasal dari kampungnya, tapi juga membantu mengurangi angka
pengangguran yang ada di Indonesia ini. Nah, kamu kan sudah bisa
membedakan mana yang baik dan mana yang buruk, ndak perlu kamu
mempermasalahkan kalau ada suara sedikit berisik dari para pekerja di
sebelah ya?” Aku mengangguk tanda setuju.
Tak lama kemudian, beberapa dari pekerja kembali jajan di rumahku, juga aku menanyai mereka tentang kebenaran informasi itu.
“Iya, Mas, kemarin sih memang agak berisik karena betulin talang air.
Biar tas-tas yang sudah jadi dan siap dibawa ke pemesan ndak kebasahan.”
kata salah seorang dari mereka dalam Jawa.
“Sekarang Pak Bos meminta kami untuk berhenti bekerja sejenak. Jam dua
belas malam juga sudah ndak boleh bekerja lagi, sementara masih banyak
tas yang perlu diselesaikan dalam waktu dekat ini.” tambah pekerja yang
lain, juga dalam Jawa.
Aku menyahuti mereka sesuai bahasa yang digunakan. Dalam hati aku bisa
merasakan bagaimana perasaaan para pekerja di sebelah rumah. Jauh-jauh
dari kampung, baru tinggal sebulan lebih dari rumah yang baru saja
dibeli oleh pemilik konfeksi, dan muncul masalah yang sungguh miring
keadilannya. Tiba-tiba aku ingin sekali menemui Pak RT, namun terpaksa
aku batalkan niat itu karena kembali teringat dengan pesan ibu.
Barangkali nanti aku bisa menuliskan tentang lingkungan di rumahku, yang
juga bagian dari Ibu Kota Jakarta, bagian dari negara bernama
Indonesia.
Pukul sepuluh malam. Sebuah sepeda motor matic berhenti di
depan rumahku. Kutengok lewat kaca jendela dari tempatku biasa menulis,
ternyata itu sahabatku sedari masa kanak-kanak. Aku pun segera menemui
dan menyalaminya. Kami berbincang banyak hal tentang kesibukan
masing-masing, termasuk tentang naskah bukuku yang gagal diterbitkan
oleh penerbit besar. Sahabatku ini pandai sekali menghibur. Dia membawa
aku tenggelam dalam kelucuan-kelucuan di masa yang silam. Namun ketika
aku bercerita bahwa ada yang tidak beres di lingkungan rumah, percakapan
mulai berubah menjadi serius.
“Ya begitulah, Mul, kalau cuma asyik dengan kepentingan sendiri. Orang
bisa sampai lupa dengan lingkungan di sekitarnya. Coba lihat sahabat
kita yang satu itu, mana mau dia berkumpul bersama kita? Orangtuanya
lebih percaya berkumpul bersama aki-aki. Main gaple, tertawa
keras-keras—tentu berbeda dengan kita yang beda derajatnya ini.” ujar
sahabatku.
“Terus bagaimana pendapat lo, Nuy, tentang konfeksi tas di sebelah?”
“Gue rasa orang-orang cuma belum terbiasa aja. Coba mereka udah
tinggal cukup lama di sini. Kan kayak kita aja waktu nongkrong di rumah
gue, mana ada yang berani menegur? Sama juga kayak mereka yang lagi main
gaple. Cuma bedanya kita masih muda, sedangkan mereka udah aki-aki!
Hahaha…”
Aki-aki! Aku pun ikut tertawa mendengar kalimat terakhirnya. Tanpa
terasa waktu telah menunjukan pukul setengah dua belas malam, maka kami
berdua akhirnya berpisah dan ditutup oleh tawa yang tak mau kalah dengan
mereka yang masih asyik bermain kartu gaple.
Begitulah cerita tentang lingkungan di sekitarku. Sebenarnya di
lingkungan tempatku tinggal ini tidak bisa dikatakan kompleks ataupun
perumahan mewah. Sudah umum jika bertahan hidup di Jakarta: yang kaya
semakin kepengin kaya, yang miskin berusaha untuk menjadi kaya, dan yang
masih waras tetap bersikap sederhana. Ah, jadi teringat lagi dengan
pengalamanku waktu masih sekolah dulu!
Semasa kelas XII SMK, aku pernah PKL (Praktik Kerja Langsung) di
kecamatan tempatku tinggal. Tugasku hanya mencatat surat-surat yang
masuk, sesekali diminta pergi ke tukang fotokopi yang ada di luar
kecamatan, dan tak jarang melayani masyarakat mengurus surat keterangan
belum menikah. Aku kira melayani masyarakat adalah tugas yang mulia. Ya,
aku kira, namun ada saja pegawai yang pamrih terhadap pekerjaannya.
Seolah-olah meminta tanda tangan dengan syarat lengkap menjadi momok
yang menakutkan, lantas waktu PKL pun aku menemukan sogok-menyogok
antara masyarakat dengan pegawai, atau pegawai dengan pegawai yang lain.
Tapi seolah sudah biasa terjadi, maka sekretaris pegawai yang aku kerja
di tempatnya juga kerap kali menasihatiku untuk tidak berbuat demikian.
Tenang saja, Bu, nasihat-nasihatmu akan selalu aku ingat meskipun aku
tak mendapatkan nilai yang baik di mata atasan ibu.
Kini aku sudah lulus sekolah, Bu, sudah mau naik ke tingkat semester dua
di tempat perkuliahanku. Kalau saja ibu tahu, aku juga telah sempat
bekerja menjadi pelayan di sebuah kafe, lalu karena tak jelas pembagian
tugasnya kemudian aku dipindahkan ke bagian belakang sebagai pembuat kue
donat. Di sana aku juga diajari bikin kopi pakai mesin, namun itu tak
lama karena aku dimutasi ke restoran dan menjadi tukang cuci piring.
Bayangkan, Bu, aku juga membayangkan jika restoran yang sudah punya nama
itu memakai mesin cuci piring supaya lebih memudahkan para pekerjanya.
Tapi ternyata aku sendiri yang mencuci piring, gelas, mangkuk sup,
sendok, garpu, dan alat-alat makan lainnya secara manual. Coba tebak,
Bu, berapa jumlah yang harus aku cuci dalam sehari bekerja di hari
Minggu? Bisa sampai dua ribu! Betapa aku rela membiarkan kedua tangan
yang biasa aku pakai buat menulis ini jadi keriput karena bergelut
dengan air dan sisa-sisa makanan para pengunjung restoran.
Alhasil aku tak betah jadi babu, juga keluar setelah dipindahkan lagi
menjadi tukang bikin berbagai aneka bentuk roti. Aku juga pernah bekerja
jadi orang kantoran, Bu, orang kantoran yang kerjanya memanipulasi
pajak dan laporan keuangan perusahaan. Penghinaan yang paling aku
rasakan adalah saat pertama kali diinterviu oleh pemilik kantor akuntan
publik itu. Seorang pekerja diminta menilai aku juga saat aku
diinterviu. Dan setelah aku tahu, pekerja tersebut tak lain ialah adik
sepupu calon bosku. Bagaimana aku tak merasa dihina? Mereka berdua
berdiskusi menggunakan bahasa Mandarin, Bu, percis dengan tampang mereka
yang punya garis keturunan keluarga Cina. Tak sampai dua bulan aku
bekerja di tempat itu. Aku dipecat secara terhormat lantaran jatuh sakit
selama seminggu.
Setiap hari dari rumahku ke daerah Harmoni. Sungguh jarak itu cukup jauh
kalau sedang dilanda kemacetan yang dicampur oleh langit yang kadang
kala juga ikut menangis. Namun aku bersyukur karena tak lagi jadi
karyawan di kantor—sebab kalau diusut lebih jauh—ternyata ketua partai
yang ramai di surat kabar, yang korupsi daging sapi impor, masih ada
kaitannya dengan kantor tempatku dulu bekerja. Korupsi! Begitu mudahkah
mengubah angka-angka di laporan keuangan dan mengecilkan pajak yang
memang sudah semestinya dibayar oleh tiap-tiap perusahaan? Ah, aku tak
tahu, juga tak ingin sok tahu terhadap masalah yang bukan menjadi
milikku.
Aku sudah dipecat secara terhormat.
Jadi kenyataan Jakarta, yang aku baca dari DJAKARTA karya Pramoedya
Ananta Toer, kini paling tidak mewakili kepahitan-kepahitan yang ada.
Menulislah, buat dirimu merasa bahagia. Dan untuk apa kau menulis, kalau
tak untuk menghapus sakit hati dan kekecewaan? Sekalipun perasaan itu
membekas di dalam ingatan, semua orang pasti pernah juga merasakannya.
Sebentar lagi bukuku akan terbit, maka aku pun tak ingin berlama-lama
mengingat penolakan dan penjiplakan yang pernah menimpa diriku juga
tulisan-tulisanku. Sudah dijiplak, sudah ditolak penerbit besar, kenapa
pula aku harus merasa kecewa yang berlarut-larut? Kan kelak 1-2 bulan
lagi bukunya terbit?
Mereka bilang hanya orang-orang besar saja yang bisa memenangkan
sejarah. Lupa ada orang-orang kecil, yang juga ingin berbagi kepada
dunia. Sejarah, cerita, dan hitam-putih kehidupan. Dulu kubanggakan
cinta sebagaimana aku tergila-gila dengan seorang wanita. Kini semakin
tua semakin buta; mana cinta mana derita. Dari cinta aku belajar: di
mata Tuhan, semua manusia sama. Dari derita aku pun belajar: ternyata
juga ada serigala berwujud manusia. Dan ketika uang tak lagi mampu
membeli dunia beserta isinya, yang telah diciptakan Tuhan sebelum
manusia itu sendiri ada:
Selamat! Makan tuh duit!