Pages

Thursday, May 29, 2014

Cermin Wastafel

Aku menatapnya. Takjub.

Dia menatapku. Marah.

Aku tak tahu apa yang berada di benak wanita muda itu sampai memandangku penuh kebencian. Padahal dia hanya melihat pantulan dirinya sendiri disitu. Dan aku, cukuplah balik memandang, sekaligus mengagumi kecantikannya yang begitu alami.

Wanita itu mendengus kesal. Ia mengambil tisu dari tasnya dan menyeka bedak yang sudah menempel di pipinya, juga polesan lipstick di bibirnya.

“Kenapa aku tidak pernah terlihat cantik saat bercermin ?,” rutuknya sembari menatapku kembali dengan mata menyala. Bekas-bekas bedak dan lipstick terlihat berlepotan diwajahnya.

Ah, kalau saja aku bisa meraih pipinya yang ranum lalu menepuknya lembut, maka akan kukatakan padanya, 
“Kamu sudah cantik. Sangat cantik malah. Meski tanpa polesan kosmetik apapun diwajahmu”.

Wanita itu menghela nafas panjang dan dengan gerakan kaku ia mengambil tempat bedak dari tas lalu memoleskannya kembali dipipi. Pelan. Penuh perasaan.
Aku menikmati ritual ini dengan antusias. Gerak gemulai tangannya saat memoles bedak mengingatkanku pada konduktor orkestra yang memainkan tangannya memandu lagu dengan elegan. Aku terkesan.

Begitupun saat ia memberikan sentuhan terakhir lipstick pada bibirnya. Ibarat seorang maestro lukis menambahkan tambahan warna menyolok diatas kanvas lukisannya. Berkali-kali ia memandangku untuk memastikan bahwa ia sudah cukup cantik dengan polesan kosmetik yang baru.

Mendadak pintu toilet terbuka lebar dan seorang lelaki muda bergegas masuk. Namun langkahnya terhenti saat melihat wanita itu di depan wastafel toilet.

Ia mengernyitkan dahi, sebersit keraguan terpancar dimatanya.

“Apakah…saya salah masuk toilet ?,” tanya lelaki itu gusar.

“Tidak. Anda tidak salah masuk,” sahut wanita itu berusaha menata kegugupan yang menderanya. Dengan cepat ia merapikan kosmetiknya yang berserakan dan memasukkannya ke tas lalu beranjak keluar menuju pintu.

Lelaki itu hanya berdiri mematung. Tak percaya.
 
“Ini memang toilet lelaki. Nama saya Isman. Tapi biasa juga dipanggil Nana. Nana Sudonna,” tambah wanita itu yang kemudian melesat keluar dan hilang dibalik pintu.

Tuesday, May 27, 2014

Hari Itu Hujan

“Lho? Bayi siapa ini?” tanya Parmin saat menemukan sebuah kardus tergeletak di pos penjagaan saat kami ronda malam ini. Kardus yang ternyata berisi seorang bayi mungil.

Kami mendekati kardus bekas air mineral yang dipenuhi kain untuk menghangatkan si bayi, sementara bayi laki-laki di dalamnya sedikit membiru kedinginan.

“Kita laporkan Pak RT saja ya Man?” Parmin bertanya saat aku menatap penasaran sang bayi dalam kardus air mineral di hadapan kami. Entah mengapa, tatapannya langsung membiusku. Dan anehnya, bayi tadi juga balas menatapku.

“Man! Ditakoni kok ndadak nglamun?! Huuh..!” (Man, ditanya kok malah ngelamun)
Parmin mencibirku. Setelahnya ia menghilang dari pandangan, tepat saat kutemukan  secarik kertas di bawah tubuh hangat sang jabang bayi.
Kubaca perlahan secarik kertas yang membuatku sedikit penasaran.
“Mas Arman,
Aku titip anak kita. Ya, bayi ini anakmu, Mas. Aku sengaja tak memberitahumu tentang kehamilanku selama ini. Aku cuma menjaga perasaan Yuni. Hatinya pasti hancur mengetahui hubungan terlarang kita malam itu. Tapi kali ini, aku tak tahu lagi apa yang harus kulakukan pada bayi ini. Aku mohon, jaga dia untuk kita. Dan aku akan selalu mengenangmu, Mas Arman. Titip thole (panggilan untuk anak laki-laki). Jaga dia baik-baik.”
Aku tercekat. Menatap bayi merah di hadapanku. Bayi yang sorot matanya selalu membuatku terpana. Itu sorot mata Seruni.
Suara rintik hujan mengguyur atap pos penjagaan. Dan sekelebat memori berputar di benakku. Kenangan yang berhubungan dengan hujan, nyaris setahun yang lalu.
Saat itu di pos penjagaan ini udara sangat dingin menggigil. Namun hati dan tubuh kami terasa hangat. Ketika Seruni berada dalam dekapanku, sesaat setelah kami mencapai puncak kenikmatan bersama-sama.
Pagiku tak lagi berwarna
Pekat selekat malam sejak kau titipkan luka
Kian lama kurasakan penantianku beranjak sirna
Sadarkan mimpiku dan kau pun celaka

Cukup lama kau biarkan aku tertidur sendiri
Di sana kau dengannya bersama membangun istana
Nyeri!
Banggalah aku hanya seorang jagawana

Kata-katamu aku berlindung
Kau katakan aku bukanlah sang mendung
Kau hanya inginkan pelangi
Yang indah dari hujanku pada tanah mewangi

Ku rindu kau dengan tawa sakit hatimu
Saat kecewa begitu sulit kau dekap
Bilaku hinggap bagai gelap
Apalah aku selalu tiada sekali hisap
Lemah kau lenyap!

Bukan Surat Kabar

Pada suatu senja yang muram aku mencoba belajar untuk mengerti, tentang diri yang beberapa hari terakhir dikunjungi oleh hati yang sedikit membenci. Telah kuberitakan sebuah kabar dari rasa kecewaku, juga kepada mereka yang maklum akan hal itu.

Aku, seorang yang berjuang bersama tulisan dan pengalaman-pengalaman, tapi melawan pun aku tak mampu. Tentu aku tak ingin disamaratakan dengan kaum wanita. Mereka sudah diakui lewat emansipasi, setelah R.A. Kartini juga menggunakan tulisan sebagai alat memperjuangkan hak-haknya. Lain pula aku; aku, seorang lelaki, dengan berbagai macam gengsi dan tak ada hak apa-apa untuk menuntut kebenaran. Aku hanya punya kewajiban menerima segala kenyataan, walau kenyataan yang pahit sekalipun. Dan kebenaran, yang ramai orang-orang perbincangkan, adalah semacam benang kusut yang dirajut sendiri oleh penjahitnya.

Nah, membahas soal penjahit, aku juga memiliki cerita mengenai hal tersebut. Kurang lebih dari dua bulan yang lalu ada kejadian yang membuat aku bertanya-tanya: Kok bisa? Kok orang semulia itu bisa didatangi ketua rukun tetangga setempat?

Begini ceritanya:

Sekitar pukul delapan malam aku kembali lagi ke rumah dan tak jadi bertemu dengan sahabatku sedari masa kanak-kanak. Ia sedang tidak ada di rumahnya, maka itu aku pulang ke rumah tanpa timbul prasangka buruk tentang seorang sahabat.

Saat ingin tiba di rumah, aku berpapasan dengan Pak RT juga satu orang yang aku ketahui: dia adalah mantan bendahara RT. Mereka berdua baru saja keluar dari rumah tetangga di sebelah kanan rumahku. Seperti habis menghadiri rapat bersama Pak Lurah, muka mereka tampak sesak oleh pikiran masing-masing, lantas aku pun juga tak jadi memberikan sapaan. Setidak-tidaknya aku tersenyum kepada Pak RT, tentu sebagai warga bukan sebagai budak negara. Ya, sebagaimana warga negara yang baik, yang tahu terimakasih kepada pemimpinnya. Pemimpin, ya, bukan badut sirkus!

Rupa-rupanya ibu telah menunggu aku di ambang pintu. Aku digiringnya masuk ke dalam rumah dan mengambil tempat duduk sendiri, sementara ibu duduk di bangku panjang tempat biasa kami sekeluarga menyambut para tamu. Ibu langsung memulai percakapan tentang kejadian yang baru saja dialami oleh konfeksi tas di sebelah rumah. Pak RT bersama seorang yang rambutnya telah putih itu memberikan teguran terhadap pemilik konfeksi. Aku tetap mendengarkan pendapat-pendapat ibuku dengan cermat. Informasi bukan didapatkannya dari mencuri dengar, melainkan dari para pekerja konfeksi itu sendiri; saat mereka jajan di warung sembako kecil-kecilan milik keluargaku.

“Kata Pak S yang tinggal di depan konfeksi, keluarga mereka terganggu oleh bau lem yang menyengat. Tapi ibu heran, soalnya Pak RT menegur tetangga sebelah karena masalah suara—yang menurut ibu sih, ndak terlalu berisik. Kan kita juga nyaman-nyaman saja, toh? Malahan menurut ibu, justru pemilik rumah yang terganggu itu lebih mengganggu karena mereka main kartu gaple hingga larut malam.” ucap ibu.

“Pemilik konfeksi di sebelah bukan cuma menolong para tetangga yang berasal dari kampungnya, tapi juga membantu mengurangi angka pengangguran yang ada di Indonesia ini. Nah, kamu kan sudah bisa membedakan mana yang baik dan mana yang buruk, ndak perlu kamu mempermasalahkan kalau ada suara sedikit berisik dari para pekerja di sebelah ya?” Aku mengangguk tanda setuju.

Tak lama kemudian, beberapa dari pekerja kembali jajan di rumahku, juga aku menanyai mereka tentang kebenaran informasi itu.

“Iya, Mas, kemarin sih memang agak berisik karena betulin talang air. Biar tas-tas yang sudah jadi dan siap dibawa ke pemesan ndak kebasahan.” kata salah seorang dari mereka dalam Jawa.

“Sekarang Pak Bos meminta kami untuk berhenti bekerja sejenak. Jam dua belas malam juga sudah ndak boleh bekerja lagi, sementara masih banyak tas yang perlu diselesaikan dalam waktu dekat ini.” tambah pekerja yang lain, juga dalam Jawa.

Aku menyahuti mereka sesuai bahasa yang digunakan. Dalam hati aku bisa merasakan bagaimana perasaaan para pekerja di sebelah rumah. Jauh-jauh dari kampung, baru tinggal sebulan lebih dari rumah yang baru saja dibeli oleh pemilik konfeksi, dan muncul masalah yang sungguh miring keadilannya. Tiba-tiba aku ingin sekali menemui Pak RT, namun terpaksa aku batalkan niat itu karena kembali teringat dengan pesan ibu. Barangkali nanti aku bisa menuliskan tentang lingkungan di rumahku, yang juga bagian dari Ibu Kota Jakarta, bagian dari negara bernama Indonesia.

Pukul sepuluh malam. Sebuah sepeda motor matic berhenti di depan rumahku. Kutengok lewat kaca jendela dari tempatku biasa menulis, ternyata itu sahabatku sedari masa kanak-kanak. Aku pun segera menemui dan menyalaminya. Kami berbincang banyak hal tentang kesibukan masing-masing, termasuk tentang naskah bukuku yang gagal diterbitkan oleh penerbit besar. Sahabatku ini pandai sekali menghibur. Dia membawa aku tenggelam dalam kelucuan-kelucuan di masa yang silam. Namun ketika aku bercerita bahwa ada yang tidak beres di lingkungan rumah, percakapan mulai berubah menjadi serius.

“Ya begitulah, Mul, kalau cuma asyik dengan kepentingan sendiri. Orang bisa sampai lupa dengan lingkungan di sekitarnya. Coba lihat sahabat kita yang satu itu, mana mau dia berkumpul bersama kita? Orangtuanya lebih percaya berkumpul bersama aki-aki. Main gaple, tertawa keras-keras—tentu berbeda dengan kita yang beda derajatnya ini.” ujar sahabatku.

“Terus bagaimana pendapat lo, Nuy, tentang konfeksi tas di sebelah?”

“Gue rasa orang-orang cuma belum terbiasa aja. Coba mereka udah tinggal cukup lama di sini. Kan kayak kita aja waktu nongkrong di rumah gue, mana ada yang berani menegur? Sama juga kayak mereka yang lagi main gaple. Cuma bedanya kita masih muda, sedangkan mereka udah aki-aki! Hahaha…”

Aki-aki! Aku pun ikut tertawa mendengar kalimat terakhirnya. Tanpa terasa waktu telah menunjukan pukul setengah dua belas malam, maka kami berdua akhirnya berpisah dan ditutup oleh tawa yang tak mau kalah dengan mereka yang masih asyik bermain kartu gaple.

Begitulah cerita tentang lingkungan di sekitarku. Sebenarnya di lingkungan tempatku tinggal ini tidak bisa dikatakan kompleks ataupun perumahan mewah. Sudah umum jika bertahan hidup di Jakarta: yang kaya semakin kepengin kaya, yang miskin berusaha untuk menjadi kaya, dan yang masih waras tetap bersikap sederhana. Ah, jadi teringat lagi dengan pengalamanku waktu masih sekolah dulu!

Semasa kelas XII SMK, aku pernah PKL (Praktik Kerja Langsung) di kecamatan tempatku tinggal. Tugasku hanya mencatat surat-surat yang masuk, sesekali diminta pergi ke tukang fotokopi yang ada di luar kecamatan, dan tak jarang melayani masyarakat mengurus surat keterangan belum menikah. Aku kira melayani masyarakat adalah tugas yang mulia. Ya, aku kira, namun ada saja pegawai yang pamrih terhadap pekerjaannya. Seolah-olah meminta tanda tangan dengan syarat lengkap menjadi momok yang menakutkan, lantas waktu PKL pun aku menemukan sogok-menyogok antara masyarakat dengan pegawai, atau pegawai dengan pegawai yang lain. Tapi seolah sudah biasa terjadi, maka sekretaris pegawai yang aku kerja di tempatnya juga kerap kali menasihatiku untuk tidak berbuat demikian. Tenang saja, Bu, nasihat-nasihatmu akan selalu aku ingat meskipun aku tak mendapatkan nilai yang baik di mata atasan ibu.

Kini aku sudah lulus sekolah, Bu, sudah mau naik ke tingkat semester dua di tempat perkuliahanku. Kalau saja ibu tahu, aku juga telah sempat bekerja menjadi pelayan di sebuah kafe, lalu karena tak jelas pembagian tugasnya kemudian aku dipindahkan ke bagian belakang sebagai pembuat kue donat. Di sana aku juga diajari bikin kopi pakai mesin, namun itu tak lama karena aku dimutasi ke restoran dan menjadi tukang cuci piring. Bayangkan, Bu, aku juga membayangkan jika restoran yang sudah punya nama itu memakai mesin cuci piring supaya lebih memudahkan para pekerjanya. Tapi ternyata aku sendiri yang mencuci piring, gelas, mangkuk sup, sendok, garpu, dan alat-alat makan lainnya secara manual. Coba tebak, Bu, berapa jumlah yang harus aku cuci dalam sehari bekerja di hari Minggu? Bisa sampai dua ribu! Betapa aku rela membiarkan kedua tangan yang biasa aku pakai buat menulis ini jadi keriput karena bergelut dengan air dan sisa-sisa makanan para pengunjung restoran.

Alhasil aku tak betah jadi babu, juga keluar setelah dipindahkan lagi menjadi tukang bikin berbagai aneka bentuk roti. Aku juga pernah bekerja jadi orang kantoran, Bu, orang kantoran yang kerjanya memanipulasi pajak dan laporan keuangan perusahaan. Penghinaan yang paling aku rasakan adalah saat pertama kali diinterviu oleh pemilik kantor akuntan publik itu. Seorang pekerja diminta menilai aku juga saat aku diinterviu. Dan setelah aku tahu, pekerja tersebut tak lain ialah adik sepupu calon bosku. Bagaimana aku tak merasa dihina? Mereka berdua berdiskusi menggunakan bahasa Mandarin, Bu, percis dengan tampang mereka yang punya garis keturunan keluarga Cina. Tak sampai dua bulan aku bekerja di tempat itu. Aku dipecat secara terhormat lantaran jatuh sakit selama seminggu.

Setiap hari dari rumahku ke daerah Harmoni. Sungguh jarak itu cukup jauh kalau sedang dilanda kemacetan yang dicampur oleh langit yang kadang kala juga ikut menangis. Namun aku bersyukur karena tak lagi jadi karyawan di kantor—sebab kalau diusut lebih jauh—ternyata ketua partai yang ramai di surat kabar, yang korupsi daging sapi impor, masih ada kaitannya dengan kantor tempatku dulu bekerja. Korupsi! Begitu mudahkah mengubah angka-angka di laporan keuangan dan mengecilkan pajak yang memang sudah semestinya dibayar oleh tiap-tiap perusahaan? Ah, aku tak tahu, juga tak ingin sok tahu terhadap masalah yang bukan menjadi milikku.

Aku sudah dipecat secara terhormat.

Jadi kenyataan Jakarta, yang aku baca dari DJAKARTA karya Pramoedya Ananta Toer, kini paling tidak mewakili kepahitan-kepahitan yang ada. Menulislah, buat dirimu merasa bahagia. Dan untuk apa kau menulis, kalau tak untuk menghapus sakit hati dan kekecewaan? Sekalipun perasaan itu membekas di dalam ingatan, semua orang pasti pernah juga merasakannya. Sebentar lagi bukuku akan terbit, maka aku pun tak ingin berlama-lama mengingat penolakan dan penjiplakan yang pernah menimpa diriku juga tulisan-tulisanku. Sudah dijiplak, sudah ditolak penerbit besar, kenapa pula aku harus merasa kecewa yang berlarut-larut? Kan kelak 1-2 bulan lagi bukunya terbit?

Mereka bilang hanya orang-orang besar saja yang bisa memenangkan sejarah. Lupa ada orang-orang kecil, yang juga ingin berbagi kepada dunia. Sejarah, cerita, dan hitam-putih kehidupan. Dulu kubanggakan cinta sebagaimana aku tergila-gila dengan seorang wanita. Kini semakin tua semakin buta; mana cinta mana derita. Dari cinta aku belajar: di mata Tuhan, semua manusia sama. Dari derita aku pun belajar: ternyata juga ada serigala berwujud manusia. Dan ketika uang tak lagi mampu membeli dunia beserta isinya, yang telah diciptakan Tuhan sebelum manusia itu sendiri ada:

Selamat! Makan tuh duit!

Monday, May 26, 2014

Sepotong Dunia Maya

Yang tak bisa diungkapkan melalui sajak atau lagu, adalah rindu yang menagih temu

Yang terus menderu dalam kalbu

Rindu yang menderu adalah rindu yang membatu saat tatap mata kita beradu dan kata tak bisa terucap meskipun satu

Tatapmu yang katakan, air matamu yang ceritakan, tentang rindu yang menderu, tentang rindu yang menuntut temu

Belum pernah kita beradu temu namun rasa rindu sudah menggebu

Kagumku padamu yang tumbuhkan rindu. Rasa ingin bertemu yang membuat ini menggebu

Sunday, May 18, 2014

Pangling

Aku sudah cukup mabuk
Tapi tak cukup pangling dari semua ini
Aku sudah terlelap,
Tapi aku terbangun sejak tadi...

Aku memaafkan semua hal yang terjadi,
Tapi aku tak pernah memaafkan batinku
Aku terlalu sombong untuk itu
Aku terlalu malu untuk itu

Aku tak berlari, aku hanya tak menoleh lagi pada suara
Aku hanya berjalan pincang, dengan mata amarah
Aku ingin memaki, tapi makian hanya akan terulang
Karena akulah pencipta dari kesedihan ini

Ayah

Sudah bertahun - tahun sejak kematian ayah
Menurut wanita yang melahirkan ibuku
Ia mati sia-sia
Memperjuangkan hal yang sulit ditentang
Tertembak tentara orde baru, bersimbah darah di kepalanya
Ibuku berkata ayah adalah pahlawan
Pahlawan bagi hidupnya
Bagi keluarga dan negara
Sampai tua umurku
Tak pernah aku ingat wajahnya
Aku beruntung karena masih ada teknologi bernama kamera

Cerita lama, cerita dari ibuku
Ayahku menolak tawaran dari seorang besar
Ayah meludah tepat di depannya
Politik seperti anjing, katanya
Angin menusuk, menyelinap di antara sela jariku
Betapa kisah ayahku menuranikan
Walau di hari ini jelas berbeda keadaannya
Bagaimana mungkin sebuah tulisan protes di koran
Dan selepas ludah di depan mata
Mampu mematikan satu jiwa

Mungkin ayahku tak sendirian
Jutaan pemberontak pun menyebar
Karenanya semangat berkobar
Meski berakhir di pusara

Ayahku sayang
Cucumu sudah bisa berjalan
Kupastikan kau merindukan ini
Pagutan bibir lembut ibu dan melihat anakmu bekerja

Ayahku sayang
Umur duniamu lebih pendek dariku
Mereka bisa saja tertawa, telah musnah satu nyawa
Dan kau menertawai mereka dari sana
Sejatinya kau abadi

Puisi-Puisi Bajingan!

seruputlah udara malam
dan dengung kesunyian
nyanyikan hening di hati seperti penggembala yang keletihan

berlayarlah di atas samudera kehampaan
ditampar deras angin kesendirian
nikmati bintang yang bercerita pada mata yang menatap

berdiamlah
bersama keagungan sunyi ketiadaan

hanyutkan amarah dan dendam
dalam tenggorokan yang kering
telan
telan perlahan
hingga duri - durinya membekaskan memori dalam tiap tarikan nafas
umpatkan kutukan paling terkutuk
dan lepaskan amarah dari mantra kemunafikan!

lalu

simpan keluh

simpan peluh

dan berbaringlah berbantalkan kesah

buka mata lebar - lebar

teteskan darah penyesalan di pupil matamu

lalu teteskan di jemari

lukis syair - syair penuh gelegak sayatan hati

lukis !

lukiskan puisi - puisi bajingan

yang akan menjadi kitab penyesalan kehidupan

lukiskan !

sebelum bintang menghitam !

Anggrek Biru

geletakkanlah galaumu disini
di bahu yang senantiasa menanti
aku tidak begitu mengerti bahagiamu yang mewah dan mahal itu
tapi aku paham bahasa sedihmu
aku mengerti saat air matamu mengalir di dalam hati, atau lukamu menganga

tidak ada aku
tidak ada aku di ceriamu yang anggun dan dihiasi penuh warna bunga - bunga langka
tidak ada mampuku untuk membelikanmu ceria dan senyum itu


berbaringlah disini, didadaku yang berdegup pelan
masuklah kepelukan
bersembunyilah dalam dekapku bila mimpi buruk menghujammu
biarkan reda takutmu itu
sampai fajar membuka mata


tidak ada
tidak ada aku di pesta dansa
aku sibuk menyulam luka hati untuk kujual kembali
jangan kau harapkan aku ada disana bersamamu

tidak pernah ada aku dalam tawa dan duniamu


cukup bagiku
membawa pulang
tangis, luka, dan takutmu
untuk kuanyam dan kukembalikan
cukup bagiku
lama sudah waktu berlalu
bosan sudah hati tak berlabuh
mungkin ku harus memilih arah menuju
setelah sekian lama tak bertuju

kau kau yang disana
laksamana bidadari penghuni surga
bernyanyi ria memandang ramah
tunggu aku terbang ke sana

M A S A

kamukah masa..?
benarkah kita beriringan selama ini
mungkin kita beriringan namun tak sepaham
kau tinggalkan aku dikedalaman kenangan
seakan tak peduli apakah aku ingin tinggal
akankah kau menunggu..?

masa...
aku kini tak punya detik yang bisa kusenyumi
yang biasa kunikmati dalam setiap pandangku
pria pemalu ini bergelimang sesal
berusaha memaki diri dari cermin
menyedihkan?
ya bersedihlah

masa...
dapatkah kau kembalikan aku kesana
hampir satu dekade aku memikirkannya
kebahagiaan yg terpasung kenaifan
ingin ku urai satu demi satu
apa daya itu kemustahilan

hai dewi masa silam...
setidaknya jika bunga itu berani kupetik
aku mungkin berada dalam peran utama
kisahku mungkin tak berlalu semonoton ini
berkeluh pada rembulan dan insomnia
berbuah namamu...
dalam tiap baris-baris kontemporer...

Hanya

kita hanya manusia
bukan selembar kertas
kita kadang menulis
namun kadang tidak membaca
kita kadang menghapus
namun sering kita teringat
sebab kita hanya manusia
kita bukan selembar kertas
AH BAJINGAN !
dearest flower,
how are you?
you must be grown well..
what are you now?
rose? orchid?
whatever you are now,
you must be beautifull
where ever you are now,
you must be happy
reborn on your birthday
happy in your way
your existence brings out sun shine..
strong flower just born
just like what you did before
masih pada bilangan "satu"
aku masih berharap meski kapan entah terjawab
aku masih menunggu meski kapan entah bertemu
aku masih mencari meski kapan entah terpenuhi
aku masih berdoa meski kapan entah dikabulkan oleh-Nya

dan masih pada bilangan "satu"
aku masih beribu masih yang lainnya
yang juga masih menyisakan tanya;
inikah cinta?
bagaimana caranya ucapkan aku sayang dia?
dikala aku dan dia tidak saling berdekatan.
waktu aku masih ada di dekatnya.
tak pernah terucap sepatah kata kiasan.

aku tidak suka dengan rayuan gombal yang busuk tak bermakna.
aku laki-laki yg tak pandai bermain kata untuk memanja.
takut hati engkau tertusuk dengan manis pedas kata-kata.
tapi dikala engkau tak ada, batin ini seolah tersiksa.

sekarang aku bagai mengemis kasih sayang.
tapi engkau bagai rasa yg susah menghilang.
mungkin bayang itu masih terpatri padaku.
sayang sekali, padahal aku tak ingin begitu.

bagaimana cara ungkapkan aku sayang dia?
saat aku dan dia benar-benar terpisah.
kini seolah semua sirna seketika.
rasa yang dulu kupendam tak punya tempat bermakna.

Tak Berjudul

aku ini seperti angkasa
kau tau aku ada, kau kadang melihatku
kadang aku menyilaukan
tapi kita tak dapat bersentuhan

aku ingin kau disini...
walau aku tak selalu menjadi siang,
aku bisa menjadi malam, menaungimu...

memandangimu saat tertidur,
atau tersenyum kecil saat kau sibuk dengan permainan detektifmu...
aku berikanmu hujan
agar kau duduk disana memandangi jendela
atau agar kau segera berteduh

tetap diam disana...
aku hanya ingin begini saja...
memandangimu diam.

bagaimana lagi yang bisa kulakukan?
jika aku mendekatimu
dunia akan berakhir, kau akan menghilang.

aku angkasa
jauh darimu,
hanya bisa memandangimu
dan tak dapat memilikimu

Terakhir

Dalam dimensi yang saling berbenturan ini...
Kita selalu duduk berhadapan.

Membicarakan tentang apa saja...
Tentang manusia yang aneh atau tentang kolam teratai yang kosong.

Seperti mencintai seseorang,
Kau harus menghitung langkah...
Satu, sepuluh, seratus, seribu...

Yang pada masanya, setiap hal akan memiliki hak.
Setumpuk kertas, lembaran-lembaran usang yang keropos...
Wajah yang lusuh, berbaring dalam sebidang tanah yang berpasir.

Jika aku akan menemui kematian,
Tentunya aku akan menggenggam seikat balon warna-warni.
Menunggu serpihan cahaya hangat masuk ke dalam pori-pori tubuh, seperti menggeliat...

Terakhir.